Kamis, 27 April 2017

biografi Ibnu Sina



BAB I
PENDHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok Ibnu Sina dalam banyak hal unik, sedang diantara para filosof muslim ia tidak hanya unik, tapi juga memperoleh penghargaan yang semakin tinggi hingga masa modern. Ia adalah satu - satunya filosof besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim beberapa abad.
Pengaruh ini terwujud bukan hanya karena ia memiliki sistem, tetapi karena sistem yang ia miliki itu menampakkan keasliannya yang menunjukkan jenis jiwa yang jenius dalam menemukan metode - metode dan alasan - alasan yang diperlukan untuk merumuskan kembali pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh lagi dalam sistem keagamaan Islam.
Ibnu Sina atau di kalangan orang-orang Barat  dikenal dengan panggilan Avicenna merupakan seorang filsuf, ilmuwan, dan juga dokter pada abad ke-10. Ia juga seorang penulis yang produktif di mana sebagian besar karyanya adalah tentang filasafat dan pengobatan. Bagi banyak orang, dia adalah 'Bapak Pengobatan Modern' dan masih banyak lagi sebutan baginya yang kebanyakan bersangkutan dengan karya-karyanya di bidang kedokteran.
Karyanya yang sangat terkenal adalah Qanun fi Thib atau The Canon of Medicine yang merupakan rujukan di bidang kedokteran selama berabad-abad.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana biografi Ibnu Sina?
2.      Apa saja pemikiran Ibnu Sina?
3.      Bagaimana filsafat tentang kenabiannya?




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biorafi Ibnu Sina
Abu Ali al-Husayn bin Abdullah bin Sina (980-1037) atau yang secara umum dikenal dengan nama Ibnu Sina atu Avicenna (bahasa latin yang terdistorsi dari bahasa Hebrew Aven Sina) adalah seorang ensiklopedis, filsuf, fisiologis, dokter, ahli matematika, astronomer dan sastrawan. Bahkan, dibeberapa tempat ia lebih terkenal sebagai sastrawan dari pada seorang filsuf. Dia adalah ilmuan dan filsuf muslim yang sangat terkenal dan salah seorang ilmuan dan filsuf terbesar sepanjang masa. Dia dipanggil oleh orang Arab dengan sebutan asy-syaikh ar-Rais.
Dia lahir di Afsanah, Bukhara, Transoxiana (Persia Utara). Dia mengajar kedokteran dan filsafat di Isfahan, kemudian tingal di Teheran. Dia adalah seorang dokter ternama, dimana mulai abad ke-12 sampai ke-17, bukunya dalam bidang pengobatan, Qanun fi ath-Thibb, menjadi rujukan di berbagai universitas Eropa.
Dia lebih menekankan pada rasionalitas dari pada keyakinan buta. Di sinilah Ibnu Sina banyak mendapat serangan dri kalangan muslim ortodoks. Bahkan, ia dituduh ateis. Karena itu ia lebih di kenal di Barat dari pada di Timur. Pengaruhnya di Barat karena buku-bukunya banyak diterjemah ke bahasa latin.
Dia menjadi sahabat karib raja karena keahliannya dalam masalah pengobatan. Di usia enam belas tahun, ia telah menyembuhkan Sultan Samaniah, Nuh bin Mansur, dari penyakit serius yang dideritannya. Dia kemudian diangkat menjadi dokter istana. Dengan posisinya ini, dia memiliki kesempatan untuk mempelajari buku-buku langka di perpustakaan Sultan. Dalam usia dua belas tahun, dia telah banyak meringkas buku-buku filsafat. Bahkan buku pertama yang telah ditulisnya dalam masalah psikologi dipersebhan oleh Sulatan, dengan judul Hadiyah ar-Ra’is ila al-Amir.
Dia banyak menulis buku dalam berbagai persoalan, mulai filsafat, geometri, aritmatika, bhasa teologi, sampai musik.
Di usia 22 tahun, setelah kematian ayahnya, ia meninggalkan Bukhra menuju Jurjan. Tidak lama kemudian ia meninggalkan jurjan karena kekacauan politik. Dia pergi ke kota Hamazan, di mana ia berhasil menyembuhkn penyakit sultan Syams ad-Daulah dari Dianasti Buwaihi. Atas jasanya, Sultan mengangkatnya menjadi perdana menteri di Rayyand. Tetapi, kalangan tentara memusuhinya dan menjebloskannya ke dalam penjara. Atas bantun sultan, dia di kelurkan dari dalam penjara.
Jabatan ini di embannya sampai meninggalnya sultan. Ketika ia hendak pergi ke Isfahan, ia ditangkap oleh Taj l-Muluk, putera Sultan, dan di jebloskan ke penjara selma empat bulan. Dia dapat melarikan diri ke Isfaham dengan cara menyamar. Dia meninggal di usia 57 tahun, dimana di akhir hayatnya ia menjadi guru filsafat dan dokter di Isfahan.
B.     Ajaran Filsafat
1.      Logika
Filsafat logikanya bisa ditemukan dalam kitabnya yang berjudul An-Najat dan dalam beberapa bagian penting karya yang lain ynag berjudul  Al-Isyarat. Dalam sebuah monograf ringkas tetapi sangat  penting yang berisi tentang “Klasifikasi Ilmu Pengetahuan”, bnu Sina membagi pengetahuan logika ke dalam sembilan bagian yang berbeda, yang berkaitan dengan delapan buku Aristoteles yang didahului oleh Isagoge nya Prophyry, salah satu buku yng terkenal di Timur pada abad pertenghan.
Logik digunakan Ibnu Sina dalam pengertian yang luas. Tujuan utmanya, adalah menyediakan bagi kita beberapa aturan yang akan mengarahkan kita agar tidak jatuh kedalam kesalahan penalaran. Jadi, logika tidak menemukan kebenaran baru, tetapi membantu kita untuk menggunakan kebenaran yang kita telah miliki tersebut dengan baik  dan mencegah kita dengan penggunakan yang salah atas kebenaran tersebut.
Penalaran, menurut Ibnu sina, berawal dari terma-terma khusus ynag diterima dari luar. Ini merupakan data awal pengalaman atau prinsip-prinsip pertama pemahaman. Ibnu Sina menjelaskan bahwa pengalman dan penalaran memiliki andil yang sama dalam formasi dan pertumbuhan data seorang ilmuan. Ketika membicarakan bentuk dan materi definisi dan argumen, Ibnu Sina membedakan antara definisi, argumen dan ringkasan. Ibnu Sina, mengikuti Aristoteles, mengakui empat sebab-materii, formal, efisien, dan tujuan.
2.      Psikologi
Psikologi Ibnu Sina memberikan perhitungan yang sangat sistematis dengan berbagi macam jiwa dan daya-dayanya. Ini semua di klasifikasi secara metodis sesuai dengan susunan hierarkis. 
Menurut Ibnu Sina, ada tiga tiga macam jiwa: jiwa tumbuhan, hewan, dan manusia. Jiwa tumbuhan memiliki tiga daya: kekuatan nutrisi (makan), kekuatan tumbuh (groqwth), dan kekuatan reproduksi. Jiwa hewan memiliki dua daya : daya motif dan daya perseptif.
Hanya jiwa manusia yang memiliki pikiran (reason). Pikiran atau intellegence dalam pandangan Ibnu Sina sendiri atas dua macam: akal praktis dan akal teoretis. Akal praktis berhubungan dengan moralitas. Akal teoretis adalah akal yang memungkinkan kita berfikir abstrak.
3.      Metafisika
Ada bagian dalam ajaran metafisika Ibnu Sina yang terlihat sangat kuno sekarang. Di dalamnya dia berbicara tentang akal dan jiwa planet yang beremanasi dari tuhan dalam sebuah tatanan hirarkis.
Teori emanasionisme, bekerja pada dua prinsip. Pertama, dari prinsip bahwa Tuhan adalah ketunggalan murni, maka tidak masuk akal bahwa sesuatu akan muncul darinya kecuali bahwa sesuatu tersebut harus juga sesuatu yang tunggal. Yang satu hanya dapat menghasilkan yang satu. Kedua , “ada” memiliki dua aspek: wajib ada atau mungkin ada, esensi atau eksistensi. Hanya dalam Tuhanlah esensi dan eksistensi menyatu. Dari sini kemudian disimpulkan bahwa esensi semua makhluk adalah bersifat mungkin, dan dia menjadi bereksistensi hanya karena tuhan.
Emanasi pertama dari wajib ada adalah satu, yaitu akal pertama. Dalam salah satu aspek, eksistensinnya adalah mungkin dan dilain pihak dia wajib melalui ada yang pertama (first being). Ia mengetahui esensinnya sendiri sebagaimana esensi the first being. Ia memiliki eksistensi ganda, mungkin dan wajib, dan ini memunculkan keragaman karena ia memiliki tiga macam objek macam pengetahuan: pengetahuan tentang yang pertama, esensinnya sendiri sebagai wajib ada, dan keberadaannya sebagai mungkin ada. Dari akal pertama, muncul tiga makhluk: akal kedua, jiwa (soul) pertama, dan langit bintang-bintang pertama. Dari akal kedua muncul akal lain, langit kedua dan jiwannya.
C.     Filsafat Jiwa
Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah falsafatnya tentang jiwa. Sebagaimana Al-Farabi, ia juga menganut faham pancaran. Dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama, demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal ke sepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada dibawah bulan. Akal pertama adalah malaekat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril.
Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat : sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya atau necessary by virtual of the necessary being and possible in essence. Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran : Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya.
Segi - segi kejiwaan pada Ibnu Sina pada garis besarnya dapat dibagi menjadi dua segi yaitu :
1.          Segi fisika yang membicarakan tentang macam - macamnya jiwa (jiwa tumbuhkan, jiwa hewan dan jiwa manusia). Pembahasan kebaikan - kebaikan, jiwa manusia, indera dan lain - lain dan pembahasan lain yang biasa termasuk dalam pengertian ilmu jiwa yang sebenarnya.
2.          Segi metafisika, yang membicarakan tentang wujud dan hakikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa.
Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bahagian :Jiwa tumbuh .Jiwa binatang, Jiwa manusia. Sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiwa tumbuh - tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya, maka orang itu dapat menyerupai binatang, tetapi jika jiwa manuisa yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaekat dan dekat dengan kesempurnaan.
Menurut Ibnu Sina jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir didunia ini. Sungguh pun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi - fungsi fisik, dan dengan demikian tak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berfikir, jiwa masih berhajat pada badan karena pada permulaan wujudnya badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berfikir.
Ada empat dalil yang dikemukakan oleh Ibnu Sina untuk membuktikan adanya jiwa yaitu :
1.      Dalil Alam Kejiwaan
Pada diri kita ada peristiwa yang tidak mungkin di tafsirkan kecuali sesudah mengakui adanya jiwa. Peristiwa – peristiwa tersebut adalah gerak dan pengenalan (idrak, pengetahuan). Gerak ada dua macam yaitu :
a.       Gerak paksaan (harakah qahriah) yang timbul sebagai akibat dorongan dari luar dan yang menimpa sesuatu benda kemudian menggerakkannya.
b.      Gerak bukan paksaan, dan gerak ini terbagi menjadi dua yaitu :
·         Gerak sesuai dengan ketentuan hukum alam, seperti jatuhnya batu dari atas ke bawah.
·         Gerak yang  terjadi dengan melawan hukum alam, seperti manusia yang berjalan di bumi, sedang berat badannya seharusnya menyebabkan ia diam, atau seperti burung yang terbang menjulang di udara, yang seharusnya jatuh (tetap) di sarangnya di atas bumi. Gerak yang berlawanan dengan ketentuan alam tersebut menghendaki adanya penggerak khusus yang melebihi unsur – unsur benda yang bergerak. Penggerak tersebut ialah jiwa.
Pengenalan (pengetahuan) tidak dimiliki oleh semua mahluk, tetapi hanya di miliki oleh sebagiannya. Yang memiliki pengenalan ini menunjukkan adanya kekuatan – kekuatan lain yang tidak terdapat pada lainnya. Begitulah isi dalil natural-psikologi dari Ibnu Sina yang didasarkan atas buku De Anima (Jiwa) dan Physics, kedua – duanya dari Aristoteles.
Namun dalil Ibnu Sina tersebut banyak berisi kelemahan – kelemahan antara lain bahwa natural (physic) pada dalil tersebut dihalalkan. Dalil tersebut baru mempunyai nilai kalau sekurangnya benda – benda tersebut hanya terdiri dari unsur – unsur yang satu maca, sedang benda – benda tersebut sebenarnya berbeda susunannya (unsur – unsurnya). Oleh karena itu maka tidak ada keberatannya untuk mengatakan bahwa benda – benda yang bergerakm elawan ketentuan alam berjalan sesuai dengan tabiatnya yang khas dan berisi unsur – unsur yang memungkinkan ia bergerak. Sekarang ini banyak alat – alat (mesin ) yang bergerak dengan gerak yang berlawanan dengan hukum alam, namun seorang pun tidak mengira bahwa alat – alat (mesin – mesin) terseut berisi jiwa atau kekuatan lain yang tidak terlihat dan yang menggerakkannya. Ulama – ulama biologi sendiri sekarang menafsirkan fenomena kehidupan dengan tafsiran mekanis dan dinamis, tanpa mengikut sertakan kekuatan psikologi (kejiwaan).
2.      Dalil Aku dan Kesatuan Gejala Kejiwaan.
Menurut Ibnu Sina apabila seorang sedang membicarakan tentang dirinya atau mengajak bicara kepada orang lain, maka yang dimaksudkan ialah jiwanya, bukan badannya. Jadi ketika kita mengatakan saya keluar atau saya tidur, maka bukan gerak kaki, atau pemejaman mata yang dimaksudkan, tetapi hakikat kita dan seluruh pribadi kita.
3.      Dalil Kelangsungan (kontinuitas).
Dalil ini mengatakan bahwa masa kita yang sekarang berisi juga masa lampau dan masa depan. Kehidupan rohani kita pada pagi ini ada hubungannya dengan kehidupan kita yang kemarin, dan hubungan ini tidak terputus oleh tidur kita, bahkan juga ada hubngannya dengan kehidupan kita yang terjadi beberapa tahun yang telah lewat. Pertalian dan perangkaian ini bisa terjadi karena peristiwa – peristiwa jiwa merupakan limphan dari sumber yang satu dan beredar sekitar titik tarik yang tetap.
Ibnu Sina dengan dalil kelangsungan tersebut telah membuka ciri kehidupan pikiran yang paling khas dan mencerminkan penyelidikan dan pembahasannya yang mendalam, bahkan telah mendahului masanya beberapa abad, karena pendapatnya tersebut dipegangi oleh ilmu jiwa modern dan telah mendekati tokoh – tokoh pikir  masa sekarang.
4.      Dalil Orang Terbang atau Tergantung di Udara.
Dalil ini adalah yang terindah dari Ibnu Sina dan yang paling jelas menunjukkan daya kreasinya. Meskipun dalil tersebut didasarkan atas perkiraan dan khayalan, namun tidak mengurangi kemampuannya untuk memberikan keyakinan. Dalil tersebut mengatakan sebagai berikut : “Andaikan ada seseorang yang mempunyai kekuatan yang penuh, baik akal maupun jasmani, kemudian ia menutup matanya sehingga tak dapat melihat sama sekali apa yang ada di sekelilingnya kemudian ia diletakkan di udara atau dalam kekosongan, sehingga ia tidak merasakan sesuatu persentuhan atau bentrokan atau perlawanan, dan anggota – anggota badannya diatur sedemikian rupa sehingga tidak sampai saling bersentuhan atau bertemu. Meskipun ini semua terjadi namun orang tersebut tidak akan ragu – ragu bahwa dirinya itu ada, meskipun ia sukar dapat menetapkan wujud salah satu bagian badannya. Bahkan ia boleh jadi tidak mempunyai pikiran sama sekali tentang badan, sedang wujud yang digambarkannya adalah wujud yang tidak mempunyai tempat, atau panjang, lebar dan dalam (tiga dimensi). Kalau   pada saat tersebut ia mengkhayalkan (memperkirakan) ada tangan dan kakinya. Dengan demikian maka penetapan tentang wujud dirinya, tidak timbul dari indera atau melalui badan seluruhnya, melainkan dari sumber lain yang berbeda sama sekali dengan badan yaitu jiwa.
D.    Filsafat Wujud.
Bagi Ibnu Sina sifat wujudlah yang terpenting dan yang mempunyai kedudukan diatas segala sifat lain, walaupun essensi sendiri. Essensi, dalam faham Ibnu Sina terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap essensi yang dalam akal mempunyai kenyataan diluar akal. Tanpa wujud, essensi tidak besar artinya. Oleh sebab itu wujud lebih penting dari essensi. Tidak mengherankan kalau dikatakan bahwa Ibnu Sina telah terlebih dahulu menimbulkan falsafat wujudiah atau existentialisasi dari filosof - filosof lain.
Kalau dikombinasikan, essensi dan wujud dapat mempunyai kombinasi berikut :
1.     Essensi yang tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibnu Sina mumtani’yaitu sesuatu yang mustahil berwujud  (- impossible being).
2.     Essensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud. Yang serupa ini disebut mumkin yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud. Contohnya adalah alam ini yang pada mulanya tidak ada kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
3.     Essensi yang tak boleh tidak mesti mempunyai wujud. Essensi dan wujud adalah sama dan satu. Di sini essensi tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya dengan essensi dalam kategori kedua, tetapi essensi mesti dan wajib mempunyai wujud selama - lamanya. Yang serupa ini disebut yaitu Tuhan. Wajib al wujud inilah yang mewujudkan mumkin al wujud. Dalam pembagian wujud kepada wajib  dan mumkin, tampaknya Ibnu Sina terpengaruh oleh pembagian wujud para mutakallimun kepada : baharu (al-hadits) dan Qadim (al-Qadim). Karena dalil mereka tentang wujud Allah didasarkan pada pembedaan - pembedaan “baharu” dan “qadim” sehingga mengharuskan orang berkata, setiap orang yang ada selain Allah adalah baharu, yakni didahului oleh zaman dimana Allah tidak berbuat apa - apa. Pendirian ini mengakibatkan lumpuhnya kemurahan Allah pada zaman yang mendahului alam mahluk ini, sehingga Allah tidak pemurah pada satu waktu dan Maha Pemurah pada waktu lain. Dengan kata lain perbuatan-Nya tidak Qadim dan tidak mesti wajib. Untuk menghindari keadaan Tuhan yang demikian itu, Ibnu Sina menyatakan sejak mula “bahwa sebab kebutuhan kepada al-wajib (Tuhan) adalah mungkin, bukan baharu”. Pernyataan ini akan membawa kepada aktifnya iradah Allah sejak Qadim, sebelum Zaman.
 “Perbuatan Ilahi” dalam pemikiran Ibnu Sina dapat disimpulkan dalam 4 catatan sebagai berikut :
Pertama, perbuatan yang tidak kontinu (ghairi mutajaddid) yaitu perbuatan yang telah selesai sebelum zaman dan tidak ada lagi yang baharu. Dalam kitab An-Najah (hal. 372) Ibnu Sina berkata : “yang wajib wujud (Tuhan) itu adalah wajib (mesti) dari segala segi, sehingga tidak terlambat wujud lain (wujud muntazhar) - dari wuwud-Nya, malah semua yang mungkin menjadi wajib dengan-Nya. Tidak ada bagi-Nya kehendak yang baru, tidak ada tabi’at yang baru, tidak ada ilmu yang baru dan tidak ada suatu sifat dzat-Nya yang baru”. Demikianlah perbuatan Allah telah selesai dan sempurna sejak qadim, tidak ada sesuatu yang baru dalam pemikiran Ibnu Sina, seolah - olah alam ini tidak perlu lagi kepada Allah sesudah diciptakan.
Kedua, perbuatan Ilahi itu tidak ada tujuan apapun. Seakan - akan telah hilang dari perbuatan sifat akal yang dipandang oleh Ibnu Sina sebagai hakekat Tuhan, dan hanya sebagai perbuatan mekanis karena tidak ada tujuan sama sekali.
Ketiga, manakala perbuatan Allah telah selesai dan tidak mengandung sesuatu maksud, keluar dari-Nya berdasarkan “hukum kemestian”, seperti pekerjaan mekanis, bukan dari sesuatu pilihan dan kehendak bebas.
Keempat, perbuatan itu hanyalah “memberi wujud” dalam bentuk tertentu. Untuk memberi wujud ini Ibnu Sina menyebutnya dengan beberapa nama, seperti: shudur (keluar), faidh (melimpah), luzum (mesti), wujub anhu (wajib darinya). Nama - nama ini dipakai oleh Ibnu Sina untuk membebaskan diri dari pikiran “Penciptaan Agamawi”, karena ia berada di persimpangan jalan anatara mempergunakan konsep Tuhan sebagai “sebab pembuat” (Illah fa’ilah) seperti ajaran agama dengan konsep Tuhan sebagai sebab tujuan (Illah ghaiyyah) yang berperan sebagai pemberi kepada materi sehingga bergerak ke arahnya secara gradual untuk memperoleh kesempurnaan.
Dalam empat catatan tersebut para penulis sejarah dan pengkritik Ibnu Sina selalu memahami bahwa Ibnu Sina menggunakan konsep pertama yaitu konsep Tuhan sebagai “sebab pembuat”. Tidak terpikir oleh mereka kemunginan Ibnu Sina menggunakan konsep kedua, yang menyatakan bahwa Tuhan tidak mencipta, tapi hanya sebagai “tujuan” semata. Semua mahluk merindui Tuhan dan bergerak ke arahNya seperti yang terdapat dalam konsepsi Aristoteles tentang keindahan seni dalan hubungan alam dengan Tuhan.
E.     Falsafat Wahyu dan Nabi
Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal materil, akal  intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad. Dari keempat akal tersebut tingkatan akal yang terendah adalah akal materiil. Ada kalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusia akal materiil yang besar lagi kuat, yang Ibnu Sina diberi nama al hads yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materiil semua ini begitu besarnya, sehingga tanpa melalui latihan dengan mudah dapat berhubungan dengan akal aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai daya suci. Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia dan terdapat hanya pada nabi – nabi.
Jadi wahyu dalam pengertian teknis inilah yang mendorong manusia untuk beramal dan menjadi orang baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka. Maka tak ada agama yang hanya berdasarkan akal murni. Namun demikian, wahyu teknis ini, dalam rangka mencapai kualitas potensi yang diperlukan, juga tak pelak lagi menderita karena dalam kenyataannya wahyu tersebut tidak memberikan kebenaran yang sebenarnya, tetapi kebenaran dalam selubung simbol – simbol.





BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.      Ibnu Sina memiliki pemikiran keagamaan yang mendalam. Pemahamannya mempengaruhi pandangan filsafatnya. Ketajaman pemikirannya dan kedalaman keyakinan keagamaannya secara simultan mewarnai alam pikirannya.
2.      Menurut Ibnu Sina bahwa alam ini diciptakan dengan jalan emanasi (memancar dari Tuhan). Tuhan adalah wujud pertama yang immateri dan dariNyalah memancar segala yang ada.
3.      Tuhan adalah wajibul wujud (jika tidak ada menimbulkan mustahil), beda dengan mumkinul wujud (jika tidak ada atau ada menimbulkan tidak mujstahil). 
4.      Pemikiran Ibnu Sina tentang kenabian menjelaskan bahwa nabilah manusia yang paling unggul, lebih unggul dari filosof karena nabi memiliki akal aktual yang sempurna tanpa latihan atau studi keras, sedangkan filosof mendapatkannya dengan usaha dan susah payah.

1 komentar:

  1. Cobra vs Titanium Drill Bits
    Cobra vs babyliss pro nano titanium straightener Titanium Drill Bits. The Cobra titanium gold was the original Cobra. It was built to produce a titanium crystal smaller but durable design. westcott titanium scissors In addition to joico titanium the traditional “crab” $8.50 · ‎In stock

    BalasHapus