BAB I
PENDHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok Ibnu Sina
dalam banyak hal unik, sedang diantara para filosof muslim ia tidak hanya unik,
tapi juga memperoleh penghargaan yang semakin tinggi hingga masa modern. Ia
adalah satu - satunya filosof besar Islam yang telah berhasil membangun sistem
filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi
tradisi filsafat muslim beberapa abad.
Pengaruh ini
terwujud bukan hanya karena ia memiliki sistem, tetapi karena sistem yang ia
miliki itu menampakkan keasliannya yang menunjukkan jenis jiwa yang jenius
dalam menemukan metode - metode dan alasan - alasan yang diperlukan untuk
merumuskan kembali pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme yang
ia warisi dan lebih jauh lagi dalam sistem keagamaan Islam.
Ibnu Sina atau di
kalangan orang-orang Barat dikenal dengan panggilan Avicenna merupakan
seorang filsuf, ilmuwan, dan juga dokter pada abad ke-10. Ia juga seorang
penulis yang produktif di mana sebagian besar karyanya adalah tentang filasafat
dan pengobatan. Bagi banyak orang, dia adalah 'Bapak Pengobatan Modern' dan
masih banyak lagi sebutan baginya yang kebanyakan bersangkutan dengan
karya-karyanya di bidang kedokteran.
Karyanya yang sangat
terkenal adalah Qanun fi Thib atau The Canon of Medicine yang merupakan rujukan
di bidang kedokteran selama berabad-abad.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi Ibnu Sina?
2. Apa saja pemikiran Ibnu Sina?
3. Bagaimana filsafat tentang kenabiannya?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biorafi Ibnu Sina
Abu Ali
al-Husayn bin Abdullah bin Sina (980-1037) atau yang secara umum dikenal dengan
nama Ibnu Sina atu Avicenna (bahasa latin yang terdistorsi dari bahasa Hebrew
Aven Sina) adalah seorang ensiklopedis, filsuf, fisiologis, dokter, ahli
matematika, astronomer dan sastrawan. Bahkan, dibeberapa tempat ia lebih
terkenal sebagai
sastrawan
dari pada seorang filsuf. Dia adalah ilmuan dan filsuf muslim yang sangat
terkenal dan
salah seorang ilmuan dan filsuf terbesar sepanjang
masa. Dia dipanggil oleh orang Arab dengan sebutan asy-syaikh ar-Rais.
Dia lahir di
Afsanah, Bukhara, Transoxiana (Persia Utara). Dia mengajar kedokteran dan
filsafat di Isfahan, kemudian tingal di Teheran. Dia adalah seorang dokter
ternama, dimana mulai abad ke-12 sampai ke-17, bukunya dalam bidang pengobatan,
Qanun fi ath-Thibb, menjadi rujukan di berbagai universitas Eropa.
Dia lebih
menekankan pada rasionalitas dari pada keyakinan buta. Di sinilah Ibnu Sina
banyak mendapat serangan dri kalangan muslim ortodoks. Bahkan,
ia dituduh ateis. Karena itu ia lebih di kenal di Barat dari pada di Timur.
Pengaruhnya di Barat karena buku-bukunya
banyak diterjemah ke bahasa latin.
Dia menjadi
sahabat karib raja karena keahliannya dalam masalah pengobatan. Di usia enam belas
tahun, ia telah menyembuhkan Sultan Samaniah, Nuh bin Mansur, dari penyakit
serius yang dideritannya. Dia kemudian diangkat menjadi dokter istana. Dengan
posisinya
ini, dia memiliki kesempatan untuk mempelajari buku-buku langka di perpustakaan
Sultan. Dalam usia dua belas
tahun, dia telah banyak meringkas buku-buku filsafat. Bahkan buku pertama yang
telah ditulisnya dalam masalah psikologi dipersebhan oleh Sulatan, dengan judul
Hadiyah ar-Ra’is ila al-Amir.
Dia banyak
menulis buku dalam berbagai persoalan, mulai filsafat, geometri, aritmatika,
bhasa teologi, sampai musik.
Di usia 22 tahun,
setelah kematian ayahnya, ia meninggalkan Bukhra menuju Jurjan. Tidak
lama kemudian ia meninggalkan jurjan karena kekacauan politik. Dia pergi ke
kota Hamazan, di mana ia berhasil
menyembuhkn penyakit sultan Syams ad-Daulah dari Dianasti Buwaihi. Atas
jasanya, Sultan mengangkatnya menjadi perdana menteri di Rayyand. Tetapi,
kalangan tentara memusuhinya dan menjebloskannya ke dalam penjara. Atas bantun
sultan, dia di kelurkan dari dalam
penjara.
Jabatan ini di
embannya sampai meninggalnya sultan. Ketika ia hendak pergi ke Isfahan, ia
ditangkap oleh Taj l-Muluk, putera Sultan, dan di jebloskan ke penjara selma
empat bulan. Dia dapat melarikan diri ke Isfaham dengan cara menyamar. Dia
meninggal di usia 57 tahun, dimana di akhir hayatnya ia menjadi guru filsafat
dan dokter di Isfahan.
B.
Ajaran Filsafat
1.
Logika
Filsafat logikanya bisa ditemukan dalam kitabnya yang berjudul An-Najat
dan dalam beberapa bagian penting karya yang lain ynag berjudul Al-Isyarat. Dalam sebuah monograf
ringkas tetapi sangat penting yang
berisi tentang “Klasifikasi Ilmu Pengetahuan”, bnu Sina membagi pengetahuan
logika ke dalam sembilan bagian yang berbeda, yang berkaitan
dengan delapan buku Aristoteles yang didahului oleh Isagoge nya
Prophyry, salah satu buku yng terkenal di Timur pada abad pertenghan.
Logik digunakan Ibnu Sina dalam pengertian yang luas. Tujuan
utmanya, adalah menyediakan bagi kita beberapa aturan yang akan mengarahkan
kita agar tidak jatuh kedalam kesalahan penalaran. Jadi, logika tidak menemukan
kebenaran baru, tetapi membantu kita untuk menggunakan kebenaran yang kita
telah miliki tersebut dengan baik dan
mencegah kita dengan penggunakan yang salah atas kebenaran tersebut.
Penalaran, menurut Ibnu sina, berawal dari terma-terma khusus ynag
diterima dari
luar. Ini merupakan data awal pengalaman
atau prinsip-prinsip pertama pemahaman. Ibnu Sina menjelaskan bahwa pengalman
dan penalaran memiliki andil yang sama
dalam formasi dan pertumbuhan data seorang ilmuan. Ketika membicarakan bentuk
dan materi definisi dan argumen, Ibnu Sina membedakan antara definisi, argumen
dan ringkasan. Ibnu Sina, mengikuti Aristoteles, mengakui empat sebab-materii,
formal, efisien, dan tujuan.
2.
Psikologi
Psikologi Ibnu Sina memberikan perhitungan yang sangat sistematis
dengan berbagi macam jiwa dan daya-dayanya. Ini semua di klasifikasi secara
metodis sesuai dengan susunan hierarkis.
Menurut Ibnu Sina, ada tiga tiga macam jiwa: jiwa tumbuhan, hewan,
dan manusia. Jiwa tumbuhan memiliki tiga daya: kekuatan nutrisi
(makan), kekuatan tumbuh (groqwth), dan kekuatan reproduksi. Jiwa hewan
memiliki dua daya : daya motif dan daya perseptif.
Hanya jiwa manusia yang memiliki pikiran (reason). Pikiran
atau intellegence dalam pandangan Ibnu Sina sendiri atas dua macam: akal
praktis dan akal teoretis. Akal praktis berhubungan dengan moralitas. Akal
teoretis adalah akal yang memungkinkan kita berfikir abstrak.
3.
Metafisika
Ada bagian dalam ajaran metafisika
Ibnu Sina yang terlihat sangat kuno sekarang. Di dalamnya dia berbicara tentang
akal dan jiwa planet yang beremanasi
dari tuhan dalam sebuah tatanan hirarkis.
Teori emanasionisme, bekerja pada dua prinsip. Pertama, dari
prinsip bahwa Tuhan adalah ketunggalan murni, maka tidak masuk akal bahwa
sesuatu akan muncul darinya kecuali bahwa sesuatu tersebut harus juga sesuatu
yang tunggal. Yang satu hanya dapat menghasilkan yang satu. Kedua , “ada”
memiliki dua aspek: wajib ada atau mungkin ada, esensi atau eksistensi. Hanya
dalam Tuhanlah esensi dan eksistensi menyatu. Dari sini kemudian disimpulkan
bahwa esensi semua makhluk adalah bersifat mungkin, dan dia menjadi bereksistensi
hanya karena tuhan.
Emanasi pertama dari wajib ada adalah satu, yaitu akal pertama. Dalam
salah satu aspek, eksistensinnya adalah mungkin dan dilain pihak dia wajib
melalui ada yang pertama (first being). Ia mengetahui esensinnya sendiri
sebagaimana esensi the first being. Ia memiliki eksistensi ganda,
mungkin dan wajib, dan ini memunculkan keragaman karena ia memiliki tiga macam
objek macam pengetahuan: pengetahuan tentang yang pertama, esensinnya sendiri
sebagai wajib ada, dan keberadaannya sebagai mungkin ada. Dari akal pertama,
muncul tiga makhluk: akal kedua, jiwa (soul) pertama, dan langit
bintang-bintang pertama. Dari akal kedua muncul akal lain, langit kedua dan
jiwannya.
C. Filsafat Jiwa
Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah falsafatnya tentang
jiwa. Sebagaimana Al-Farabi, ia juga menganut faham pancaran. Dari Tuhan memancar
akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama,
demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal ke
sepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada dibawah bulan.
Akal pertama adalah malaekat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril.
Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama
mempunyai dua sifat : sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah, dan
sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya atau necessary by virtual of the necessary being
and possible in essence. Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran
: Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya.
Segi - segi kejiwaan pada Ibnu Sina pada garis
besarnya dapat dibagi menjadi dua segi yaitu :
1.
Segi fisika yang membicarakan tentang macam -
macamnya jiwa (jiwa tumbuhkan, jiwa hewan dan jiwa manusia). Pembahasan
kebaikan - kebaikan, jiwa manusia, indera dan lain - lain dan pembahasan lain
yang biasa termasuk dalam pengertian ilmu jiwa yang sebenarnya.
2.
Segi metafisika, yang membicarakan tentang wujud dan hakikat jiwa,
pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa.
Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bahagian :Jiwa tumbuh .Jiwa binatang,
Jiwa manusia. Sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiwa
tumbuh - tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya, maka
orang itu dapat menyerupai binatang, tetapi jika jiwa manuisa yang mempunyai
pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaekat dan dekat
dengan kesempurnaan.
Menurut Ibnu Sina jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan
mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat
menerima jiwa, lahir didunia ini. Sungguh pun jiwa manusia tidak mempunyai
fungsi - fungsi fisik, dan dengan demikian tak berhajat pada badan untuk
menjalankan tugasnya sebagai daya yang berfikir, jiwa masih berhajat pada badan
karena pada permulaan wujudnya badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat
berfikir.
Ada empat dalil yang dikemukakan oleh Ibnu Sina untuk membuktikan adanya
jiwa yaitu :
1. Dalil Alam Kejiwaan
Pada diri kita ada
peristiwa yang tidak mungkin di tafsirkan kecuali sesudah mengakui adanya jiwa.
Peristiwa – peristiwa tersebut
adalah gerak dan pengenalan (idrak,
pengetahuan). Gerak ada dua macam
yaitu :
a. Gerak paksaan (harakah qahriah) yang timbul sebagai
akibat dorongan dari luar dan yang menimpa sesuatu benda kemudian
menggerakkannya.
b. Gerak bukan paksaan,
dan gerak ini terbagi menjadi dua yaitu :
·
Gerak sesuai dengan ketentuan hukum alam, seperti jatuhnya batu dari atas
ke bawah.
·
Gerak yang terjadi dengan melawan
hukum alam, seperti manusia yang berjalan di bumi, sedang berat badannya
seharusnya menyebabkan ia diam, atau seperti burung yang terbang menjulang di
udara, yang seharusnya jatuh (tetap) di sarangnya di atas bumi. Gerak yang berlawanan dengan ketentuan alam
tersebut menghendaki adanya penggerak khusus yang melebihi unsur – unsur benda
yang bergerak. Penggerak tersebut ialah jiwa.
Pengenalan (pengetahuan) tidak dimiliki oleh semua mahluk, tetapi hanya di
miliki oleh sebagiannya. Yang memiliki pengenalan ini menunjukkan adanya
kekuatan – kekuatan lain yang tidak terdapat pada lainnya. Begitulah isi dalil
natural-psikologi dari Ibnu Sina yang didasarkan atas buku De Anima (Jiwa) dan Physics,
kedua – duanya dari Aristoteles.
Namun dalil Ibnu Sina tersebut banyak berisi kelemahan – kelemahan antara
lain bahwa natural (physic) pada
dalil tersebut dihalalkan. Dalil tersebut baru mempunyai nilai kalau
sekurangnya benda – benda tersebut hanya terdiri dari unsur – unsur yang satu
maca, sedang benda – benda tersebut sebenarnya berbeda susunannya (unsur –
unsurnya). Oleh karena itu maka tidak ada keberatannya untuk mengatakan bahwa
benda – benda yang bergerakm elawan ketentuan alam berjalan sesuai dengan
tabiatnya yang khas dan berisi unsur – unsur yang memungkinkan ia bergerak.
Sekarang ini banyak alat – alat (mesin ) yang bergerak dengan gerak yang
berlawanan dengan hukum alam, namun seorang pun tidak mengira bahwa alat – alat
(mesin – mesin) terseut berisi jiwa atau kekuatan lain yang tidak terlihat dan
yang menggerakkannya. Ulama – ulama biologi sendiri sekarang menafsirkan
fenomena kehidupan dengan tafsiran mekanis dan dinamis, tanpa mengikut sertakan
kekuatan psikologi (kejiwaan).
2. Dalil Aku dan Kesatuan Gejala Kejiwaan.
Menurut Ibnu Sina apabila seorang sedang membicarakan tentang dirinya atau
mengajak bicara kepada orang lain, maka yang dimaksudkan ialah jiwanya, bukan
badannya. Jadi ketika kita mengatakan saya
keluar atau saya tidur, maka
bukan gerak kaki, atau pemejaman mata yang dimaksudkan, tetapi hakikat kita dan
seluruh pribadi kita.
3. Dalil Kelangsungan (kontinuitas).
Dalil ini mengatakan bahwa masa kita yang sekarang berisi juga masa lampau
dan masa depan. Kehidupan rohani kita pada pagi ini ada hubungannya dengan
kehidupan kita yang kemarin, dan hubungan ini tidak terputus oleh tidur kita,
bahkan juga ada hubngannya dengan kehidupan kita yang terjadi beberapa tahun
yang telah lewat. Pertalian dan perangkaian ini bisa terjadi karena peristiwa –
peristiwa jiwa merupakan limphan dari sumber yang satu dan beredar sekitar
titik tarik yang tetap.
Ibnu Sina dengan dalil
kelangsungan tersebut telah membuka ciri kehidupan pikiran yang paling khas dan
mencerminkan penyelidikan dan pembahasannya yang mendalam, bahkan telah
mendahului masanya beberapa abad, karena pendapatnya tersebut dipegangi oleh
ilmu jiwa modern dan telah mendekati tokoh – tokoh pikir masa sekarang.
4. Dalil Orang Terbang atau Tergantung di Udara.
Dalil ini adalah yang terindah dari Ibnu Sina dan yang paling jelas
menunjukkan daya kreasinya. Meskipun dalil tersebut didasarkan atas perkiraan
dan khayalan, namun tidak mengurangi kemampuannya untuk memberikan keyakinan.
Dalil tersebut mengatakan sebagai berikut : “Andaikan ada seseorang yang
mempunyai kekuatan yang penuh, baik akal maupun jasmani, kemudian ia menutup
matanya sehingga tak dapat melihat sama sekali apa yang ada di sekelilingnya
kemudian ia diletakkan di udara atau dalam kekosongan, sehingga ia tidak
merasakan sesuatu persentuhan atau bentrokan atau perlawanan, dan anggota –
anggota badannya diatur sedemikian rupa sehingga tidak sampai saling
bersentuhan atau bertemu. Meskipun ini semua terjadi namun orang tersebut tidak
akan ragu – ragu bahwa dirinya itu ada, meskipun ia sukar dapat menetapkan
wujud salah satu bagian badannya. Bahkan ia boleh jadi tidak mempunyai pikiran
sama sekali tentang badan, sedang wujud yang digambarkannya adalah wujud yang
tidak mempunyai tempat, atau panjang, lebar dan dalam (tiga dimensi).
Kalau pada saat tersebut ia
mengkhayalkan (memperkirakan) ada tangan dan kakinya. Dengan demikian maka
penetapan tentang wujud dirinya, tidak timbul dari indera atau melalui badan
seluruhnya, melainkan dari sumber lain yang berbeda sama sekali dengan badan
yaitu jiwa.
D. Filsafat Wujud.
Bagi Ibnu Sina sifat wujudlah yang terpenting
dan yang mempunyai kedudukan diatas segala sifat lain, walaupun essensi
sendiri. Essensi, dalam faham Ibnu Sina terdapat dalam akal, sedang wujud
terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap essensi yang dalam akal
mempunyai kenyataan diluar akal. Tanpa wujud, essensi tidak besar artinya. Oleh
sebab itu wujud lebih penting dari essensi. Tidak mengherankan kalau dikatakan
bahwa Ibnu Sina telah terlebih dahulu menimbulkan falsafat wujudiah atau
existentialisasi dari filosof - filosof lain.
Kalau dikombinasikan, essensi dan wujud dapat
mempunyai kombinasi berikut :
1. Essensi yang tak
dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibnu Sina mumtani’yaitu sesuatu yang mustahil
berwujud (- impossible being).
2. Essensi yang boleh
mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud. Yang serupa ini disebut mumkin yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud.
Contohnya adalah alam ini yang pada mulanya tidak ada kemudian ada dan akhirnya
akan hancur menjadi tidak ada.
3. Essensi yang tak
boleh tidak mesti mempunyai wujud. Essensi dan wujud adalah sama dan satu. Di sini
essensi tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana
halnya dengan essensi dalam kategori kedua, tetapi essensi mesti dan wajib
mempunyai wujud selama - lamanya. Yang serupa ini disebut yaitu Tuhan. Wajib al
wujud inilah yang mewujudkan mumkin al wujud. Dalam pembagian wujud kepada wajib dan mumkin,
tampaknya Ibnu Sina terpengaruh oleh pembagian wujud para mutakallimun kepada :
baharu (al-hadits) dan Qadim (al-Qadim). Karena dalil mereka tentang wujud
Allah didasarkan pada pembedaan - pembedaan “baharu” dan “qadim” sehingga
mengharuskan orang berkata, setiap orang yang ada selain Allah adalah baharu,
yakni didahului oleh zaman dimana Allah tidak berbuat apa - apa. Pendirian ini
mengakibatkan lumpuhnya kemurahan Allah pada zaman yang mendahului alam mahluk
ini, sehingga Allah tidak pemurah pada satu waktu dan Maha Pemurah pada waktu
lain. Dengan kata lain perbuatan-Nya tidak Qadim dan tidak mesti wajib. Untuk
menghindari keadaan Tuhan yang demikian itu, Ibnu Sina menyatakan sejak mula
“bahwa sebab kebutuhan kepada al-wajib
(Tuhan) adalah mungkin, bukan baharu”. Pernyataan ini akan membawa kepada aktifnya
iradah Allah sejak Qadim, sebelum Zaman.
“Perbuatan Ilahi” dalam pemikiran
Ibnu Sina dapat disimpulkan dalam 4 catatan sebagai berikut :
Pertama, perbuatan yang tidak kontinu (ghairi mutajaddid) yaitu perbuatan
yang telah selesai sebelum zaman dan tidak ada lagi yang baharu. Dalam kitab An-Najah (hal. 372) Ibnu Sina berkata :
“yang wajib wujud (Tuhan) itu adalah wajib (mesti) dari segala segi, sehingga
tidak terlambat wujud lain (wujud muntazhar) - dari wuwud-Nya, malah semua yang
mungkin menjadi wajib dengan-Nya. Tidak ada bagi-Nya kehendak yang baru, tidak
ada tabi’at yang baru, tidak ada ilmu yang baru dan tidak ada suatu sifat
dzat-Nya yang baru”. Demikianlah perbuatan Allah telah selesai dan sempurna
sejak qadim, tidak ada sesuatu yang baru dalam pemikiran Ibnu Sina, seolah -
olah alam ini tidak perlu lagi kepada Allah sesudah diciptakan.
Kedua, perbuatan Ilahi itu tidak ada tujuan apapun. Seakan - akan telah
hilang dari perbuatan sifat akal yang dipandang oleh Ibnu Sina sebagai hakekat
Tuhan, dan hanya sebagai perbuatan mekanis karena tidak ada tujuan sama sekali.
Ketiga, manakala perbuatan Allah telah selesai dan tidak mengandung sesuatu
maksud, keluar dari-Nya berdasarkan “hukum kemestian”, seperti pekerjaan
mekanis, bukan dari sesuatu pilihan dan kehendak bebas.
Keempat, perbuatan itu hanyalah “memberi wujud” dalam
bentuk tertentu. Untuk memberi wujud ini Ibnu Sina menyebutnya dengan beberapa
nama, seperti: shudur (keluar), faidh (melimpah), luzum
(mesti), wujub anhu (wajib darinya). Nama - nama ini dipakai oleh Ibnu Sina
untuk membebaskan diri dari pikiran “Penciptaan Agamawi”, karena ia berada di
persimpangan jalan anatara mempergunakan konsep Tuhan sebagai “sebab pembuat”
(Illah fa’ilah) seperti ajaran agama dengan konsep Tuhan sebagai sebab tujuan
(Illah ghaiyyah) yang berperan sebagai pemberi kepada materi sehingga bergerak
ke arahnya secara gradual untuk memperoleh kesempurnaan.
Dalam empat catatan tersebut para penulis sejarah
dan pengkritik Ibnu Sina selalu memahami bahwa Ibnu Sina menggunakan konsep
pertama yaitu konsep Tuhan sebagai “sebab pembuat”. Tidak terpikir oleh mereka
kemunginan Ibnu Sina menggunakan konsep kedua, yang menyatakan bahwa Tuhan
tidak mencipta, tapi hanya sebagai “tujuan” semata. Semua mahluk merindui Tuhan dan bergerak ke
arahNya seperti yang terdapat dalam konsepsi Aristoteles tentang keindahan seni
dalan hubungan alam dengan Tuhan.
E. Falsafat Wahyu dan Nabi
Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal
materil, akal intelektual, akal aktuil,
dan akal mustafad. Dari keempat akal tersebut tingkatan akal yang terendah
adalah akal materiil. Ada kalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusia akal
materiil yang besar lagi kuat, yang Ibnu Sina diberi nama al hads yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materiil semua ini
begitu besarnya, sehingga tanpa melalui latihan dengan mudah dapat berhubungan
dengan akal aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan.
Akal serupa ini mempunyai daya suci. Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat
diperoleh manusia dan terdapat hanya pada nabi – nabi.
Jadi wahyu dalam pengertian teknis inilah yang
mendorong manusia untuk beramal dan menjadi orang baik, tidak hanya murni
sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka. Maka tak ada agama yang hanya
berdasarkan akal murni. Namun demikian, wahyu teknis ini, dalam rangka mencapai
kualitas potensi yang diperlukan, juga tak pelak lagi menderita karena dalam
kenyataannya wahyu tersebut tidak memberikan kebenaran yang sebenarnya, tetapi
kebenaran dalam selubung simbol – simbol.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Ibnu Sina memiliki pemikiran keagamaan yang
mendalam. Pemahamannya mempengaruhi pandangan filsafatnya. Ketajaman
pemikirannya dan kedalaman keyakinan keagamaannya secara simultan mewarnai alam
pikirannya.
2.
Menurut Ibnu Sina bahwa alam ini diciptakan
dengan jalan emanasi (memancar dari Tuhan). Tuhan adalah wujud pertama yang
immateri dan dariNyalah memancar segala yang ada.
3.
Tuhan adalah wajibul wujud (jika tidak ada menimbulkan mustahil), beda
dengan mumkinul wujud (jika tidak ada atau ada menimbulkan tidak
mujstahil).
4.
Pemikiran Ibnu Sina tentang kenabian menjelaskan bahwa nabilah manusia yang
paling unggul, lebih unggul dari filosof karena nabi memiliki akal aktual yang
sempurna tanpa latihan atau studi keras, sedangkan filosof mendapatkannya
dengan usaha dan susah payah.
Cobra vs Titanium Drill Bits
BalasHapusCobra vs babyliss pro nano titanium straightener Titanium Drill Bits. The Cobra titanium gold was the original Cobra. It was built to produce a titanium crystal smaller but durable design. westcott titanium scissors In addition to joico titanium the traditional “crab” $8.50 · In stock